Sabtu, 12 September 2009

Saat Tepat Minum Antibiotik

Antibiotik adalah obat nomor dua paling sering digunakan setelah obat antidepresan. Namun juga paling sering disalahgunakan.

Efeknya, selain merugikan buat si pasien, juga terjadi resistensi alias kuman tak mempan lagi yang akhirnya bisa berbahaya untuk kehidupan manusia.Kuman penyebab infeksi telinga tengah seperti Streptoccocus pneumoniae, Hemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalisdikatakan banyak yang tak mempan lagi akibat pemakaian antibiotik yang berlebihan. Belum lagi pemakaian antibiotik yang bisa membunuh banyak kuman atau mahal dengan alasan tak jelas, menambah rentetan masalah akibat antibiotik.

Gunakan secara rasional

Setiap kali kita membaca kemasan antibiotik, selalu tercantum tulisan “Harus dengan resep dokter”. Mengapa? Karena keputusan untuk menggunakan antibiotik tak sembarangan dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang tepat. Setelah memutuskan menggunakan antibiotik, selanjutnya dipilih jenis yang paling sesuai dengan mempertimbangkan; efektivitas, keamanan, kenyamanan, kecocokan, serta harga. Terutama untuk anak-anak, antibiotik perlu diberikan secara hati-hati karena mereka masih dalam tumbuh kembang.

Bagaimana antibiotik digunakan?

Secara umum, antibiotik digunakan untuk tiga kepentingan, yaitu terapi empiris, definitif, dan pencegahan.

Empiris

Pemberian antibiotik secara empiris biasanya merupakan terapi awal sebelum data laboratorium ada, dan ini yang paling sering dilakukan. Tentunya harus diberikan dengan banyak pertimbangan berdasarkan educated guess (dugaan berbasis pengetahuan). Jadi, dokter menyimpulkan dari gambaran penyakit tertentu yang mengarah pada kuman tertentu. Misalnya; infeksi kulit paling sering disebabkan kuman stafilokokus atau streptokokus, sedangkan infeksi saluran kemih didominasi kuman gram negatif seperti E. coli, Enterobakter, dan golongan Proteus. Kuman Hemophilus influenza dan morazella sering ditemukan pada radang telinga tengah dan sinusitis (radang sinus). Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sesuai dengan kuman terbanyak yang ada di daerah tersebut yang diperoleh dari penelitian.

Definitif

Terapi definitif dilakukan setelah kuman ditemukan lewat biakan kuman atau uji kepekaan. Antibiotik yang dipilih idealnya dapat membunuh bakteri penyebab, tepat sasaran, bisa ditoleransi pasien, dengan mempertimbangkan umur anak, keadaannya, adanya penyakit atau komplikasi, fungsi ginjal, hati, dan sebagainya. Terapi ini memang ideal namun kelemahannya adalah faktor waktu. Biakan kuman dan uji kepekaan membutuhkan waktu 3-7 hari dan ini menyulitkan terutama pada infeksi yang berat.

Terkadang dokter memberikan kombinasi dua antibiotikdengan tujuan mengobati infeksi yang belum jelas kuman penyebabnya, infeksi multipel, serta meningkatkan aktifitas obat dan untuk mencegah resistensi. Tapi cara ini tidak dianjurkan untuk pemakaian antibiotik jangka lama.

Profilaksis (pencegahan)

Pada keadaan tertentu antibiotik digunakan untuk mencegah penyakit. Biasanya digunakan pada infeksi saluran kemih berulang, pasien dengan transplantasi organ tubuh atau pasien dalam kemoterapi maupun tindakan bedah.

Untuk anak yang sakit dan datang ke praktek dokter, pengobatan antibiotik kebanyakan diberikan secara empiris. Selain karena sulit mengontrol apakah si anak akan kembali ke dokter yang sama, juga dibatasinya waktu untuk mendiagnosis penyakit. Biasanya yang tersulit adalah menentukan penyebab virus atau bakteri terutama pada infeksi saluran napas yang mencakup organ telinga, hidung, dan tenggorokan, serta saluran napas bawah, demikian juga infeksi saluran cerna.

Penyakit yang sering dikaitkan dengan penggunaan antibiotik.

Faringitis akut

Faringitis akut atau radang faring akut sebagian besar disebabkan virus, sedangkan jenis bakterinya antara lain streptokokus beta hemolitikus grup A, streptokokus grup C, kuman anaerob dan campuran berbagai kuman. Sulit membedakan apakah penyebabnya virus atau bakteri, namun kebanyakan faringitis akut akan sembuh sendiri.

Kuman streptokokus beta hemolitikus grup A bila dibiarkan dapat menyebabkan penyakit berbahaya, jadi pada kasus ini antibiotik perlu diberikan. Gejalanya; plak pada amandel anak, kelenjar getah bening leher bagian depan membengkak, tidak disertai batuk, dan suhu meningkat hingga 380C. Bila ditemukan tiga dari empat gejala tersebut, kemungkinan penyebab kuman itu mencapai 75 persen. Antibiotik yang diberikan antara lain golongan penisilin V diminum sepuluh hari atau Benzathine penicilin G disuntikkan satu kali. Pilihan obat lain yang bisa digunakan adalah Eritromisin. Faringitis akut yang lain cukup diobati dengan obat pereda gejala (simptomatik).

Otitis media akut (radang telinga tengah)

Otitis media akut (OMA) sering ditemukan pada anak usia 7 bulan - 3 tahun. Penyebabnya bakteri dan virus. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas seperti batuk pilek. Gejalanya gendang telinga membenjol, ada cairan keruh di rongga telinga tengah. Kecurigaan bisa bertambah pada anak yang orangtuanya perokok, menggunakan dot atau empeng, atau dititipkan di Tempat Penitipan Anak. Gejalanya mendadak dengan keluhan sakit telinga dan keluar cairan dari telinga. Bila diperiksa, membran timpani tampak berwarna kuning atau kemerahan serta ada cairan di rongga telinga tengah.

Umumnya OMA sembuh tanpa antibiotik, namun masih banyak dokter meresepkan antibiotik. Alasan tersering adalah orangtua minta antibiotik. Banyak orangtua tidak sabar menunggu hasil terapi simptomatik dan tidak tega melihat anaknya gelisah akibat penyakitnya.

Jika pun harus diberikan antibiotik, pilihan pertama adalah obat turunan penisilin, sefalosporin, kotrimoksazol, dan makrolid. Ada pula dokter yang menunggu hingga 2-4 hari untuk melihat perkembangan penyakitnya. Kecuali, untuk anak di bawah usia 6 bulan, antibiotik wajib diberikan meski diagnosis belum tepat benar.

Rinosinositis akut (radang sinus dan hidung)

Sinusitis adalah peradangan sinus hidung yang hampir selalu berawal atau dimulai dengan radang hidung (rinitis) alias pilek. Sinusitis yang disebabkan bakteri sering didahului oleh infeksi virus, tetapi dapat pula menyertai kondisi lain seperti alergi hidung, kelainan anatomi hidung, polip, daya tahan kurang, rinitis karena obat, atau ada fungsi lapisan hidung yaitu mukosiliar yang terganggu.

Kuman yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptoccocus pneumoniae dan Hemophilus influenza, dapat pulaMorazella catarrhalis, Staphyloccocus aureus, kuman anaerob ataupun virus, jarang oleh jamur. Gejalanya mirip batuk pilek biasa disertai hidung mampet, lendir di tenggorokan, nyeri pada wajah. Diagnosisnya tidak mudah dan kuman penyebab sering berbarengan antara virus dan bakteri. Namun, cairan hidung yang kental dan keruh disertai gejala batuk pilek yang mulai menyembuh tapi menjadi berat lagi lebih mengarah pada infeksi bakterial.

Bagaimana pemberian antibiotik? Banyak kasus sembuh sendiri tanpa pemberian antibiotik. Dengan atau tanpa antibiotik, kasus rinosinusitis membaik dalam 7 -10 hari. Bila 7-11 hari belum ada perbaikan, antibiotik dapat diberikan. Pilihannya adalah penisilin, makrolid, sefalosporin, dan kotrimoksazol. Antibiotika harus diminum selama 7-14 hari tetapi ada yang mengatakan hingga 21 hari. Obat Antihistamin dan dekongestan atau kombinasinya serta pengencer dahak masih diragukan efektivitasnya namun cukup melegakan.

Infeksi lain

Infeksi seperti infeksi kulit dan jaringan lunak, pneumonia atau radang paru-paru, infeksi saluran cerna, infeksi saluran kemih perlu juga mempertimbangkan apakah bakteri adalah biang keladi di balik semua itu.

Referensi:

  1. Centers for disease control and prevention (CDC) media relation. Global resistance to antibiotics. From the NIH, Spetember 17, 2003.
  2. Froom J, Culpepper L, Jacobs M. Antimicrobial for acute otitis media? A review from the international primary care network. Brit Med J 1997;315:98-102
  3. Steinman MA,Gonzales R, Lindr JA, Landefelt CS. Changing use of antibiotics in community-based outpatient practice. Arch Intern Med. 2003;138:525-33
- 24 Juni 2007
Sumber :
12 September 2009
Sumber Gambar:

Madu Menyimpan Antibiotik Alami

Khasiat madu memang sudah cukup terkenal. Sejak zaman dahulu hingga hari ini madu terbukti dapat meningkatkan vitalitas tubuh. Tak berhenti sampai di situ, madu ternyata memiliki khasiat lain. Penelitian yang dilakukan tim peneliti Kanada menunjukkan, madu memiliki kemampuan menangkal bakteri.

Bakteri yang dapat ditangkal oleh madu adalah bakteri yang menyebabkan hidung berair. Khasiat madu mengatasi hidung berair ini bahkan melebihi antibiotik. Dari penelitian yang dilakukan tim dari Universitas Ottawa, Kanada mengungkapkan, madu dapat mengatasi 11 jenis bakteri termasuk bakteri penyebab penyakit berbahaya.
Ada dua jenis bakteri yang bermutasi dan kebal terhadap obat antibiotik yaitu golden staphylococcus dan blue suppurative bacillus. Madu, bisa mengatasi dua bakteri tersebut dan menghambat pertumbuhannya. Keefektifan madu dalam membunuh bakteri bisa dikatakan lebih baik dibandingkan dengan antibiotik.

Bahkan untuk para penderita hidung berair, madu bisa menjadi obatnya. Hidung berair atau flu diketahui sebagai pembawa virus dan bakteri, dan tidak perlu diberikan obat karena akan sembuh dengan sendirinya. Madu bisa membantu Anda mencegah terjadinya flu.

Untuk itu mulai sekarang, konsumsi madu setiap hari. Anda bisa mencampurnya dengan segelas air hangat atau secangkir teh. Minumlah madu setiap pagi dan menjelang tidur. Tubuh bisa menjadi lebih fit, dan memiliki antibiotik alami, sehingga Anda tidak perlu banyak mengonsumsi obat antibiotik jika sakit.(vvn) - 22 Juni 2009

Sumber :
12 September 2009

Mekanisme Resistensi Bakteri pada Antibiotik


Berbagai jenis bakteri saat ini semakin cerdik menghancurkan kerja antibiotik. Selain itu, bakteri juga mampu menghancurkan mekanisme pertahanan yang seharusnya dipakai antibiotik untuk melawan infeksi. Akibatnya makin banyak bakteri yang meningkat kekebalannya.

Para peneliti dari Universitas New York mengatakan beberapa bakteri patogen bisa menghasilkan semacam
nitric oxide yang memproduksi enzim yang membuatnya jadi resisten terhadap antibiotik. Selanjutnya, bakteri yang kebal itu dengan cepat berkembang biak dan menghasilkan koloni baru dan makin sulit dilumpuhkan.

Karena itu para ahli berusaha membuat obat-obatan yang mampu menghambat produksi enzim tersebut agar antibiotik dapat semakin kuat, bahkan bakteri super seperti
methicillin-resistant Straphylococcus aureus atau MRSA pun bisa dihancurkan.

"Membuat obat baru untuk melawan bakteri yang resisten seperti MRSA adalah sebuah tantangan, yang dikaitkan dengan biaya besar dan isu keamanan kesehatan," kata Evgeny Nudler dari Langone Medical Center, AS.

Bakteri yang resisten pada antibiotik, seperti MRSA telah menjadi masalah utama kesehatan dunia, dan telah membunuh sedikitnya 19.000 orang di Amerika Serikat setiap tahunnya.

Dalam riset yang dilakukan oleh Nudler diketahui bahwa kebanyakan antibiotik membunuh bakteri dengan memproduksi partikel berbahaya yang dikenal sebagai spesies reaktif oksigen atau oxidatif stres.

"Antibiotik membuat bakteri memproduksi lebih banyak jenis reaktif oksigen. Hal itu akan merusak DNA dan membuat bakteri tak bisa bertahan, bahkan mati.
Nitric oxide dikeluarkan bakteri untuk melindunginya dari oxidatif stres," kata Nudler yang hasil risetnya dipublikasikan dalam jurnal Science.

Karena itu, menurut Nudler komponen sintetis
nitric oxide inhibitor yang biasanya ada pada obat anti peradangan bisa dipakai untuk mengurangi produksi nitric oxide yang dihasilkan bakteri, dengan demikian kekuatan bakteri untuk melawan antibiotik pun berkurang. Ini artinya, para ilmuwan tak perlu mencari antibiotik baru.

Sumber :
AN Sumber : Reuters, dalam :
12 September 2009

Sumber Gambar/Tabel:

Masalah Resistensi Antibiotik

Apakah yang disebut sebagai resistensi antibiotika?

Resistensi antibiotika timbul bila suatu antibiotika kehilangan kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan bakter; dengan kata lain bakteri mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun telah diberikan antibiotika dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan.

Mengapa bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika?

Resistensi terhadap antibiotika adalah fenomena yang alami. Bila suatu antibiotika digunakan, bakteri yang mengalami resistensi terhadap antibiotika tersbut memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dapat terus hidup daripada bakteri lain yang lebih “rentan.” Bakteri yang rentan akan dapat dibasmi atau dihambat pertumbuhannya oleh suatu antibiotika, menghasilkan suatu a tekanan selektif terhadap bakteri lain yang masih bertahan hidup untuk menciptakan turunan yang resisten terhadap antibiotika.
Beberapa resistensi timbul tanpa adanya campur tangan manusia, bila suatu bakteri dapat memroduksi dan menggunakan antibiotika untuk melawan bakteri yang lain, sehingga menyebabkan timbulnya seleksi alam dalam tingkat yang lebih rendah untuk menimbulkan resistensi terhadap antibiotika. Namun demikian, bakteri yang mengalami resistensi terhadap antibiotika dalam jumlah yang sangat tinggi sekarang ini disebabkan karena adanya penyalahgunaan dan penggunaan antibiotika secara berlebihan. Di beberapa negara dan melalui internet, antibiotik dapat dibeli tanpa adanya resep dokter. Pasien kadang-kadang minum antibiotik meskipun ia tidak membutuhkannya, untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh virus seperti selesma.

Bagaimana bakteri bisa menjadi resisten?

Beberapa bakteri secara alami memang resisten terhadap antibiotike tipe tertentu. Namun, bakteri juga dapat menjadi resisten melalui dua cara: 1) dengan mutasi genetika atau 2) dengan mendapatkan resistensi dari bakteri lainnya.
Mutasi, perubahan spontan yang jarang terjadi pada materi genetis bakteri, diperkirakan terjadi pada satu dari satu juta hingga satu dari sepuluh juta sel. Mutasi genetis yang berbeda akan menghasilkan tipe resistensi yang berbeda juga. Beberapa mutasi mengakibatkan bakteri dapat menghasilkan zat kimia (enzim) yang cukup untuk menonaktifkan antibiotika, sementara mutasi yang lain dapat menghilangkan sel yang menjadi target serangan antibiotika. Mutasi jenis lain menutup gerbang tempat masuknya antibiotika ke dalam sel, dan mutasi yang lain lagi menghasilkan mekanisme pemompa yang dapat mengirim antibiotika keluar sel sehingga antibiotika tersebut tidak akan pernah dapat mencapai sasarannya.
Bakteri bisa mendapatkan gen-gen resisten terhadap antibiotika dari bakteri lain dengan beberapa cara. Dengan melakukan proses perkawinan sederhana yang disebut “konjugasi,” bakteri dapat mentransfer materi genetik, termasuk kode-kode genetik yang resisten terhadap antibiotika (ditemukan dalam plasmids and transposons ) dari satu bakteri ke bakteri yang lainnya. Virus juga merupakan mekanisme lain untuk menularkan sifat resistensi diantara beberapa bakteri. Sifat resistensi turunan dari satu bakteri dikemas ke dalam bagian kepala virus. Kemudian virus tersebut menyuntikkan sifat resisten ke dalam bakteri baru yang diserangnya. Bakteri juga memiliki kemampuan untuk mendapatkan DNA, “gratis” yang masih polos dari lingkungan mereka.
Bakteri yang mendapatkan gen-gen resisten, baik melalui mutasi spontasn atau melalui pertukaran genetis dengan bakteri lainnya, memiliki kemampuan untuk melawan satu atau lebih jenis antibiotika. Karena bakteri dapat mengumpulkan beberapa sifat resistensi seiring dengan berjalannya waktu, mereka dapat menjadi resisten terhadap beberapa jenis antibiotika yang berbeda.

Bagaimana resistensi antibiotika dapat menyebar?

Secara genetis, resistensi antibiotika menyebar melalui populasi bakteri baik secara “vertikal,” saat generasi baru mewarisi gen-gen yang resisten terhadap antibiotika, dan secara “horisontal,” saat bakteri berbagi atau saling menukar materi genetis dengan bakteri yang lain. Transfer gen secara horisontal dapat terjadi diantara spesies bakteri yang berbeda. Secara lingkungan, resistensi antibiotika menyebar saat bakteri tersebut bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain; bakteri dapat menyebar melalui pesawat udara, air dan angin. Orang dapat menyebarkan bakteri resisten pada orang lain; misalnya, melalui batuk atau kontak langsung dengan tangan-tangan yang tidak dicuci sebelumnya.

Dapatkah bakteri kehilangan resistensi mereka terhadap antibiotika?

Ya, sifat resistensi terhadap antibiotika dapat hilang, namun proses pembalikan seperti ini terjadi dalam waktu yang lebih lambat. Bila tekanan selektif yang terjadi karena adanya antibiotika dihilangkan, populasi bakteri dapat berpotensi berubah menjadi suatu populasi yang dapat merespons pemberian antibiotika. - 30 Januari 2007

Sumber

http://www.tufts.edu/med/apua/print/Q&A/Q&A_AR.html
APUA: Alliance for the Prudent Use of Antibiotics
http://www.apua.org

dalam :

http://www.sehatgroup.web.id/?p=709

12 September 2009

Tangkal Flu Tanpa Antibiotik

DINGINNYA udara di musim penghujan membuat tubuh mudah terkena flu dan batuk. Kurangi aktivitas dan hati-hati memilih obat flu. Jangan sampai kuman di tubuh malah jadi kebal obat.

Meski tidak setiap hari, udara masih sering lembab. Keadaan ini akan mempengaruhi tubuh kita. Sebaiknya kita tetap hati-hati dan menjaga stamina supaya tidak mudah terkena penyakit musiman. Kalau tenggorokan mulai sakit, gatal sehingga batuk berkali-kali, juga bersin-bersin, berarti penyakit musiman itu mulai mampir di tubuh kita. Trio gejala ini menjadi petunjuk kalau flu dan pilek sedang menyerang.

Batuk yang menyertai flu sebetulnya merupakan cara tubuh mempertahankan diri dari adanya alergen atau barang asing yang masuk ke tubuh. Dalam hal ini, alergen yang berupa virus itu bersarang di saluran napas. Tubuh lalu merespon dengan mengeluarkan lendir. Tak heran, di saat flu ada cairan yang keluar dari hidung.

Selain trio gejala tersebut, serangan flu atau influenza juga ditandai adanya demam mendadak dengan suhu tubuh antara 38 sampai 40 derajat Celsius, disertai sakit kepala, nyeri otot, dan badan terasa lemah. Bahkan, kadang-kadang disertai rasa mual, ingin muntah, dan diare.
Keadaan ini membuat si sakit akan menderita dan tak ingin beranjak dari tempat tidur.

Selalu Bermutasi
Flu sangat mudah menyebar. Virus penyebabnya senang sekali berkeliaran ke segala arah, lewat cairan yang dikeluarkan penderita saat batuk dan bersin. Penyakit yang menyerang saluran pernapasan atas ini biasanya berlangsung selama 3-5 hari. Namun, bisa lebih lama bila Anda tidak menjaga kondisi badan.

Menurut Prof. Dr. Iwan Darmansjah, Sp.Fk., farmakolog dari FKUI, flu dan pilek sebenarnya hanya perlu pengobatan sederhana. Si sakit harus banyak istirahat, dan tak boleh banyak bicara. Olahraga sebaiknya dihentikan dulu.

Obat diperlukan sejauh untuk mengurangi pilek, batuk, panas, serta gejala lain yang berupa nyeri otot. Obat flu perlu mengandung campuran obat demam (parasetamol, ibuprofen), komponen pilek (efedrin, pseudo-efedrin, atau fenilpropanolamin) untuk mengeringkan hidung, dan komponen obat batuk (dekstrometorfan atau noskapin).

Flu bisa dicegah dengan vaksinasi. Namun, tidak selamanya vaksinasi mampu menghadang virus flu. Ini karena virus flu selalu bermutasi, membentuk versi baru yang lain dari generasi sebelumnya.

Vaksinasi pada dasarnya hanya membantu meningkatkan kekebalan tubuh. Biasanya vaksinasi sangat dibutuhkan untuk mereka yang berusia di atas 65 tahun, penderita asma, jantung atau penyakit ginjal, juga yang menderita flu sangat berat.

Vaksinasi juga sering dibutuhkan bila kita sedang berada di tempat lain, yang iklimnya berbeda sama sekali dengan wilayah tempat tinggal kita. Misalnya, mereka yang naik haji butuh sekali suntikan vaksin flu.

Tak Perlu Antibiotik
Prof. Iwan menegaskan, flu atau pilek tidak perlu diobati dengan antibiotik. Virus flu tidak mempan antibiotik. Bila ada komplikasi infeksi dengan kuman saja, antibiotik dibutuhkan. Ini pun jarang sekali terjadi. Hanya 5 persen dari semua kasus flu yang pernah ada.
Kalau kita terbiasa minum antibiotik, bahayanya kuman di tubuh menjadi kebal terhadap antibiotik. Akibatnya, dosis yang nanti kita gunakan akan semakin besar. Efek terjelek adalah datangnya kematian bila dosisnya sudah terlalu tinggi.

Oleh karena itu, bila kita mendapat obat dari dokter sebaiknya menanyakan jenisnya dan untuk apa. Maksudnya supaya tahu apa yang kita makan. Hal semacam itu bisa kita tanyakan kepada apoteker saat mengambil obat.

Bila Anda hanya pilek, pilihlah obat bebas yang mengandung komponen pilek saja. Obat pilek hanya perlu mengandung salah satu, efedrin, pseudoefedrin, atau fenilpropanolamin saja. Dari ketiganya, efedrin dosis kecil (8-10 mg) paling baik, fenilpropanolamin paling jelek.

Bila ingin mencampur dengan komponen antihistamin (antialergi), bisa menggunakan CTM, yang cukup efektif dan murah. Tambahan lain misalnya vitamin atau obat pengencer dahak tidak mutlak dibutuhkan tubuh. Tergantung dari kondisi masing-masing individu.

Yang penting, dengan atau tanpa antibiotik flu akan sembuh dalam beberapa hari hingga seminggu. Bila ternyata tidak reda, sebaiknya segera konsultasi ke dokter. Yang perlu ditentukan, apakah demam yang diderita tidak disebabkan oleh penyakit lain, atau apakah obatnya perlu diubah.

Jangan Berselimut Tebal
Bila flu datang, tetap saja tenang. Lakukan beberapa hal berikut supaya kondisi Anda kian membaik.
- Minumlah air sebanyak mungkin karena Anda akan kehilangan banyak cairan selama demam berlangsung. Tindakan ini juga bisa membantu menurunkan suhu tubuh yang meninggi.
- Banyak istirahat. Berbaringlah di tempat tidur dan jangan melakukan aktivitas apa pun, supaya kondisi tidak memburuk.
- Berhentilah merokok dan minum alkohol.
- Minum obat golongan paracetamol atau aspirin untuk mengurangi demam dan nyeri otot. Obat golongan ibuprofen juga bisa diasup untuk menghindari peradangan. Ingat, aspirin tidak diperkenankan diasup oleh anak-anak di bawah usia 16 tahun.
- Hindari kebiasaan menutup tubuh dengan selimut tebal saat demam. Ini bisa mengakibatkan udara tubuh yang panas tidak bisa menguap, sehingga suhu tubuh malah akan naik tinggi. Rasa dingin yang dirasakan akibat panas sedang naik mendadak.
- Lakukan kompres tidak hanya di kepala karena kontak permukaan kulit terlalu sempit. Langkah terbaik adalah menyeka seluruh tubuh dengan kain basah terus-menerus selama 5-7 menit. Menguapnya air dari kulit membuat suhu tubuh akan menurun. Biasanya dalam waktu 5-7 menit suhu sudah turun. Sebaiknya tidak menggunakan alkohol untuk kompres karena akan diserap kulit.
- Di malam hari, cobalah tidur dengan kepala dinaikkan sekitar 8 inci atau 15 cm. Langkah ini mencegah lendir masuk ke bagian bawah tenggorokan, sehingga dapat mencegah terjadinya batuk.
- Bila dalam seminggu kondisi tidak juga mereda, Anda sebaiknya memeriksakan diri ke dokter.

Biar Virus Tidak Ngendon
Virus flu sangat mudah menular lewat batuk, bersin-bersin, dan cairan yang dibatukkan yang mengenai anggota badan orang lain. Supaya virus ini tidak menyebar dan tidak awet ngendon di tubuh, lakukan kiat ini.
- Tutup mulut dan hidung dengan sapu tangan atau tisu saat batuk atau bersin.
- Jika tak ada tisu atau sapu tangan, gunakan lengan baju bagian atas untuk menutupinya dan bukan dengan tangan.
- Buang tisu setelah menggunakannya. Jangan digunakan berkali-kali. Demikian juga dengan sapu tangan. Gantilah sesering mungkin.
- Setelah bersin, cuci tangan dengan sabun dan air atau alkohol, atau pembersih tangan yang sudah banyak beredar di pasaran.
- Jika perlu, gunakan masker supaya virus tidak menular ke orang lain.

- 22 Desember 2008


Sumber :
Abdi Susanto
12 September 2009

Fatal, Salah Menggunakan Antibiotik

Kita tahu antibiotik merupakan obat mujarab untuk menghilangkan rasa sakit. Tapi tidak semua orang tahu bahwa antibiotik tidak bisa digunakan untuk mengobati semua penyakit alias tidak boleh dikonsumsi sembarangan. Salah-salah bisa berakibat fatal atau sampai kepada alergi terhadap antibiotik.

Sayangnya, masyarakat justru mengindahkan penggunaan bahwa antibiotik tidak boleh digunakan secara sembarangan. Ketika demam dan flu menyerang, obat antibiotik selalu menjadi rujukan. Bahkan luka terjatuhpun tidak lengkap obat jika tanpa antibiotik.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes menjelaskan, bahan antibiotik pertama ditemukan Alexander Fleming pada 1928. Kemudian, pada 1940-an antibiotik mulai digunakan secara luas. Waktu itu, para ilmuwan dunia memprediksi, dengan ditemukannya antibiotik, pada 1960-an dunia diprediksi bersih dari penyakit infeksi.

Namun, bukannya penyakit infeksi teratasi, justru jenis bakteri baru muncul akibat resistensi terhadap penggunaan antibiotik. Bahkan, pada 1990, kata Fachmi, pernah terjadi post antibiotika era. "Suatu keadaan yang antibiotik tidak berfungsi lagi. "Waktu itu, di antara 20 jenis antibiotik yang ada, hanya satu yang bisa mengobati penyakit infeksi,"jelasnya.

Pada 2001, World Health Organization (WHO) menyampaikan keprihatinan yang tinggi terhadap perkembangan bakteri resisten. WHO pun menyatakan global alert atau perang melawan bakteri resisten.

Fachmi juga mengungkapkan, penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara tidak bijak mencapai 80 persen. Kasus di RSU dr Soetomo, lanjut Kuntaman, angka resisten terhadap antibiotik lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90 persen dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50 persen. Dalam disertasinya yang dirilis beberapa waktu lalu, Kuntaman juga menyebutkan, angka bakteri penghasil extended spectrum beta lactamase (ESBL, jenis bakteri yang sulit diobati) mencapai 29 hingga 36 persen. "Bandingkan dengan Belanda yang angkanya kurang dari satu persen," sebut pria yang bekerja di laboratorium mikrobiologi RSU dr Soetomo itu.

Karena itu, bila antibiotik tidak digunakan secara tepat, post antibiotika era diprediksi bisa terjadi pada masa depan. "Bayangkan saja, bila tidak ada satu pun obat yang mampu mengatasi penyakit infeksi," ujarnya.

Menurut Fachmi, tingginya penggunaan antibiotik di rumah sakit akan meningkatkan angka resistensi bakteri di tempat itu. "Yang pada akhirnya menyulitkan terapi," tegasnya. Bahkan, bakteri lebih mudah mutasi, yang berarti lebih cepat resisten terhadap berbagai antibiotik.

Prof dr R Bambang Wirjatmadi MS MCN PhD SpGK, pengajar gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, menjelaskan, antibiotik adalah obat yang dapat digunakan untuk membunuh kuman, virus, cacing, protozoa, dan jamur. "Biasanya, jika mengalami sakit dan disebabkan beberapa hal tersebut, obatnya antibiotik," ujar Bambang.

Tidak hanya itu. Antibiotik dibutuhkan saat seseorang sakit disertai demam. Jika sakitnya tidak disertai demam, belum tentu mereka membutuhkan antibiotik. Agar tidak sembarangan dalam penggunaannya, sebaiknya masyarakat mengetahui jenis antibiotik. Di antaranya, tetracyclin yang digunakan untuk infeksi, sakit gigi, dan luka. Jenis chloramphenicol digunakan untuk penyakit tifus. Jenis griseofulfin digunakan untuk membunuh jamur serta combantrin untuk membunuh cacing.

Ada juga narrow spectrum,yang berguna untuk membunuh jenis bakteri secara spesifik. Antibiotik yang tergolong narrow spectrum adalah ampicillin dan amoxycilin. Jenis kedua ialah broad spectrum untuk membunuh semua jenis bakteri di dalam tubuh. "Dianjurkan untuk menghindari mengonsumsi antibiotik jenis ini," jelasnya.

Sebab, jenis antibiotik itu juga membunuh bakteri lainnya yang sangat berguna untuk tubuh. Antibiotik yang termasuk kategori itu adalah cephalosporin. Penyakit yang disebabkan virus tidak dapat diberikan antibiotik. Misalnya, sakit flu atau pilek. Sebab, antibiotik tidak dapat membunuh virus karena virus dapat mati sendiri, asal daya tahan tubuh penderita meningkat atau membaik. Meski begitu, dalam perkembangannya, saat ini ada antibiotik yang dikembangkan untuk membunuh virus.

Namun itu justru akan membahayakan. Penggunaan antibiotik tidak pada tempatnya dan berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Misalnya, mengakibatkan gangguan saluran pencernaan (diare, mual, muntah). Khawatir masyarakat awam yang tidak paham, mempergunakan dosis antibiotik ini untuk segala jenis penyakit.

Penderita bisa mengalami reaksi alergi. Mulai yang ringan seperti ruam dan gatal hingga berat seperti pembengkakan bibir, kelopak mata, sampai gangguan napas. Sebab, bisa jadi penderita alergi dengan antibiotik tersebut.

Efek yang terjadi bisa ringan hingga berat. Pasien bisa mengalami anaphylatic shock atau shock karena penggunaan antibiotik tersebut. Lebih berbahaya lagi, obat itu juga bisa mengakibatkan kelainan hati. Seperti diketahui, antibiotik memiliki bahan dasar kimia. Selain berfungsi membunuh kuman, bahan kimia tersebut harus dinetralkan tubuh supaya aman. Caranya adalah dengan memecah bahan kimia itu.

Karena itu, masyarakat luas perlu memahami fungsi dan kemampuan dari obat antibiotik. Baik waktu pemakaian maupun dosis. Dengan demikian, pemakaian bisa dilakukan secara tepat dan rasional.

Dalam kasus ini yang paling memahami adalah kalangan medis. "Termasuk, upaya pemerintah dalam melakukan pengawasan di lapangan supaya antibiotik tidak beredar secara bebas," kata Fachmi. Karena sebagai regulator, posisinya bisa mencegah penjualan antibiotika secara bebas di pasar.(Her/Ijs)

Sumber :

http://www.indosiar.com/ragam/68974/fatal-salah-menggunakan-antibiotik

12 September 2009


Membidik Euforia Antibiotik

Entah berapa kali Bobi, 28 tahun, harus terjaga dari tidurnya karena serangan batuk yang membuat tenggorokannya gatal bukan main. Sudah sepekan lebih ia ditemani penyakit yang kerap mampir ketika terjadi perubahan cuaca. Ia sudah meneguk obat batuk generik, tetapi derita itu tak kunjung berakhir. Biasanya, bila berlarut-larut seperti itu, Bobi mengkonsumsi antibiotik yang bisa dibelinya tanpa resep dokter di apotek. Dengan cara itu, kerongkongannya dengan cepat menjadi plong dan batuknya sirna. Bila sudah membaik seperti itu, ia pun berhenti menelan antibiotik.

Kasus di atas, menurut Ketua Indonesian Antimicrobial Resistance Watch (IARW), Profesor Robert Utji, sudah sejak lama dijalani masyarakat Indonesia. "Tanpa resep dokter, kemungkinan sembuh memang ada, tetapi tidak tuntas," katanya saat jumpa media Simposium ke-5 Indonesian Antimicrobials Resistance Watch (IARW), di Departemen Mikrobiologi Universitas Indonesia, pekan silam.

Pada penyakit batuk, antibiotik sebetulnya berperan bukan sebagai obat untuk batuk ataupun gejalanya. Antibiotik bekerja untuk meredakan infeksi yang menyebabkan atau disebabkan batuk. "Masalahnya, apakah dosisnya kurang atau lebih, mereka kurang tahu," ujar Utji. Patut dicamkan pula, antibiotik hanya mujarab meredakan infeksi akibat bakteri. Bukan virus, jamur, atau nonbakteri lain.

Lebih lanjut ia mengingatkan, kendati sudah merasa sehat, pemakaian antibiotik jangan dihentikan di tengah jalan. Aksi seperti itu bisa menyebabkan tidak semua kuman musnah dan membuat peluang bakteri resistan terhadap antibiotik tersebut. Di lain pihak, konsumsi berlebihan juga bakal menyebabkan kuman yang tidak terbunuh, bermutasi, dan menjadi kebal. "Kuman ini disebut super bug. Contohnya, stafilokokus aureus," ujar ahli mikrobiologi Universitas Indonesia Profesor Usman Chatib Warsa, dalam kesempatan yang sama.

Terdapat pula kecenderungan kuman tidak cuma kebal terhadap satu jenis antibiotik. Kuman ini dikategorikan sebagai multidrug-resistant organisms. Jika sudah ke tahap itu, kuman kerap lolos dari penetrasi sistem imunitas karena telah teralienasi dari tubuh sehingga sulit dikenali. Artinya, saat tubuh terinfeksi, baru dapat diobati dengan generasi antibiotik yang lebih kuat. "Kini pemakaian antibiotik generasi dua dan tiga telah marak walau pasien sakitnya ringan," ucap Usman.

Dahulu, penyakit infeksi mudah teratasi cuma dengan minum penisilin. Tetapi, dengan kehadiran ragam antibiotik generasi baru, seperti cephalosporin, dapat membunuh semua jenis bakteri di dalam tubuh, tetapi membuat kuman semakin kebal pula. "Jangan memakai antibiotik untuk penyakit batuk, flu, diare, bahkan demam berdarah," Usman menegaskan. Masalahnya, penemuan antibiotik baru tidaklah secepat meluasnya kejadian resistensinya.

Belum lagi, efek berantai ini berlanjut saat para peternak memakai antibiotik sebagai campuran pakan ternak mereka. Feses sapi atau ayam, yang mengandung kuman tertentu, akan meluas ke mana-mana. Bahkan, peternak ikan memakai antibiotik buat membunuh kuman dalam kolam. Di lain sisi, euforia antibiotik yang melibatkan pasien, rumah sakit, apotek, perusahaan farmasi, juga warung pinggir jalan, terus merebak. Tidak jarang resep antibiotik diminta si pasien sendiri.

Karena itu, dalam siaran persnya, Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyebutkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Dijelaskan Usman, banyak pasien meninggal diakibatkan kuman rumah sakit yang telah menyebar ke khalayak. "Pasien sudah kebal dengan antibiotik yang ada."

Profesor Utji mengutarakan, ada kasus anak meninggal disebabkan masalah resistensi kuman. Di salah satu rumah sakit swasta Jakarta pada 1990-an, terdapat pasien anak yang menderita infeksi darah. Setelah diperiksa darahnya, ditemukan kuman gram negatif. Lalu, diuji dengan antibiotik, hasilnya sebagian besar tidak bisa membunuh kuman yang bersarang itu.

Untuk menolong nyawa si anak, cuma ada tiga macam antibiotik, yaitu kinolon, aminoglikosida, dan beta-laktam. Namun, pertimbangannya begitu berat. Obat itu tidak boleh dipakai di bawah usia 18 tahun. Sebab, bisa menyerang tulang rawan dan ginjal. Belum lagi harganya yang selangit. "Asuransi kalau sudah begitu tidak mau bayar," ujar Utji.

Contoh semacam ini bukan tidak muskil merebak luas. Di Negeri Abang Sam, pada 1999 hingga 2004, kematian akibat infeksi mencapai 280 ribu jiwa. "Angka ini lebih tinggi dari angka kematian kasus flu burung dan HIV/AIDS," Usman mengungkapkan. Saking bahayanya, Australia menerapkan kebijakan, orang denganmulti-resistant tidak boleh masuk bangsal rumah sakit.

Di Indonesia sendiri, mantan Rektor UI ini mencatat, ada ratusan ribu kasus hingga saat ini. Perbandingannya, jika 120-an orang dengan flu burung, 80 persennya berakhir dengan kematian. Maka, dalam kasus infeksi oleh Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), 50 persen berakhir pada kematian.

Ke depan, jika kondisi ini berlarut, bakal tercipta zaman saat antibiotik tidak berfungsi lagi. Penyakit ringan seperti koreng atau bisul menjadi kronis karena tidak dapat diobati. Yang pasti, ongkos berobat bakal menjulang tinggi. Inilah saatnya generasi obat antibiotik terus memperbarui diri. Sesungguhnya obat antibiotik tetap diperlukan, tetapi di bawah pengawasan dokter. Masalah besarnya ada pada penertiban penjualan obat antibiotik liar yang harus dilakukan Departemen Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan.


5 Cara Tepat

1. Minum antibiotik di bawah pengawasan dokter.
2. Minum resep antibiotik sampai habis, sesuai yang diresepkan.
3. Jangan minum resep antibiotik orang lain.
4. Jangan minta antibiotik jika dokter mendiagnosis Anda terserang penyakit yang disebabkan virus.
5. Tanya kepada dokter alasan pemberian antibiotik bila diberi resep obat jenis ini.

- 19 Januari 2009


Sumber :

Heru Triyono

http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/01/19/brk,20090119-155948,id.html

12 September 2009

Bahaya Mengintai di Balik Pemakaian Antibiotik

Hampir semua orang pernah menggunakan antibiotik, baik dalam bentuk tablet, sirup maupun obat oles. Antibiotik telah 70 tahun lebih digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Penyakit serius, seperi, tuberkulosis atau kolera, yang ratusan tahun lalu merupakan penyakit fatal bagi seluruh umat manusia, kini tidak lagi merupakan ancaman seperti dulu.

Penyakit klasik yang menggunakan antibiotik untuk mengatasinya adalah infeksi kandung kemih dan radang amandel. Antibiotik sering digunakan untuk mencegah bakteri bergerak dari kandung kemih ke ginjal. Dampak sampingnya sangat jarang. Obat antibiotik bagus untuk tubuh.

Namun di sejumlah kasus, pasien gagal mengkonsumsi antibiotik secara tepat. Hal itu di antaranya dapat mempengaruhi bakteri usus dan memicu diare di sejumlah orang. Reaksi alergi kulit juga dapat terjadi jika obat oles digunakan dalam jangka waktu panjang. Konsumsi alkohol saat sedang menggunakan antibiotik juga sangat berbahaya.

"Itu dapat memicu komplikasi pada hati sebagai dampak penggunaan alkohol," kata Constanze Wendt dari Lembaga Ilmu Kesehatan di Heidelberg.

Antibiotik dapat juga mengurangi efektivitas pil kontrasepsi. Antibiotik berfungsi mencegah pertumbuhan bakteri. Mereka dibuat dengan berbagai cara berbeda.

"Antibiotik yang banyak dijumpai adalah penisilin, namun juga ada antibiotik sintetis," kata kata Ursula Sellerberg dari Asosiasi Apoteker Jerman, yang berkantor pusat di Berlin.

Antibiotik ada dua jenis, yaitu yang berspektrum luas dan yang berspektrum sempit. Sebagaimana namanya, antibiotik dengan spektrum luas efektif untuk melawan bakteri dengan jenis beragam, sedangkan yang berspektrum sempit untuk memerangi bakteri dengan jenis spesifik.

Oleh karena penggunaan antibiotik sangat beragam, maka sejumlah bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik. Mereka tidak lagi dapat diatasi dengan obat konvensional, seperti antibiotik berspektrum luas.

Untuk mencegah bakteri menjadi resisten, antibiotik hanya dapat digunakan dengan pengawasan resep dokter di sejumlah negara.

Tapi, itu bukan masalah di banyak tempat. "Di Spanyol, misalnya, dimana antibiotik dapat dibeli di gerai obat. Kasus resistensi obat sangat tinggi," kataSellerberg.

Industri obat juga segan mengeluarkan antibiotik temuan baru ke pasar untuk menjaga efektivitas dalam kasus darurat, yang serius. Kebanyakan dokter sekarang sangat hati-hati memastikan dan tidak meresepkan antibiotik terlalu awal dalam masa perawatan.

"Dalam kasus anak-anak, kami merawat penyakit infeksi tropis, seperti, sinusitis dengan mengurangi pembengkakan," kata Michael Deeg, ahli telinga, hidung dan tenggorokan, di Freiburg, Jerman Barat Daya.

Antibiotik baru akan digunakan ketika infeksi makin berkembang, namun bahkan pada tahap itu, dokter masih mencoba menemukan metode paling efektif untuk memerangi infeksi.

"Sebuah sampel cairan tengah diteliti di laboratorium untuk menemukan cara terbaik memerangi bibit penyakit," katanya.

Antibiotik bekerja dengan cepat setelah dikonsumsi. "Di sejumlah kasus, pasien bebas dari seluruh gejala dalam beberapa jam," kata Sellerberg.

Namun, itu adalah saat pasien berada dalam masa bahaya dimana penyakitnya bisa kambuh kembali. Terutama jika mereka berhenti mengonsumsi obat terlalu cepat, karena merasa membaik. Maka tidak semua bakteri telah terbunuh.

Sellerberg dengan kuat mendorong pasien mengikuti jadwal perawatan sepanjang perintah dokter. Itu akan mencegah peluang sejumlah bakteri bertahan dari pengobatan dan menjadi resisten. Setiap orang yang resisten jika terinfeksi dengan bakteri itu lagi tidak dapat lagi dirawat secara efektif dengan antibiotik sama.

Pasien juga dapat bersikap skeptik ketika bicara mengenai antibiotik.

"Antibiotik hendaknya tidak diresepkan sebagai upaya pencegahan. Mereka seharusnya hanya diberikan jika infeksi terjadi," kata Wendt.

Konsumsi tablet antibiotik untuk menanggulangi radang selaput lendir hidung adalah perawatan yang salah.

Kebanyakan orang masih tidak peduli bahwa antibiotik tidak efektif melawan virus dan tidak dapat digunakan untuk memerangi flu biasa.

Namun, Wendt mengatakan bahwa antibiotik masih merupakan cara paling efektif untuk merawat infeksi bakteri serius, seperti, meningitis atau infeksi paru-paru, yang dapat berakibat fatal jika tidak dirawat tepat waktu. (*/cax)
- 20 April 2007

Jangan Sembarangan Minum Antibiotik

Kebanyakan dokter selalu meresepkan antibiotik kepada pasiennya, walaupun penyakit yang diderita mungkin hanya flu biasa. Karena antibiotik sudah tidak asing lagi, terkadang pasien langsung membeli antibiotik ke apotek tanpa resep dokter.

Hal ini tentunya tidak benar dan justru merugikan pasien itu sendiri. Karena antibiotik termasuk kelompok obat keras yang penggunaannya harus berdasarkan resep dokter dan diawasi penggunaannya oleh dokter.

Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik digunakan untuk mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, misalnya infeksi saluran nafas, infeksi saluran kemih, infeksi tulang, infeksi kulit dan kelamin dan lainnya.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini jenis antibiotika sudah sangat beragam, misalnya antibiotik beta-lactam, termasuk didalamnya antibitik sejuta umat
Amoxicillin, Ampicillin, Sefalosporin. Antibitik aminoglikosida, antibiotik kloramfenikol, antibiotik makrolida, antibiotik quinolon, antibiotik tetrasiklin dan sebagainya.

Pilihan antibiotik apa yang tepat dengan penyakit pasien, tentunya harus berdasarkan diagnosa yang tepat dari dokter, sehingga dengan tepat diagnosa maka tepat pula pilihan antibiotiknya. Jadi jangan asal meminum antibiotik tanpa resep dokter, akibatnya dapat terjadi risiko efek samping obat, alergi obat dan risiko resistensi antibiotik.

Salah satu bahaya jika meminum antibiotik sembarangan adalah resistensi antibiotik. Artinya antibiotik tidak mempan lagi digunakan untuk mengatasi infeksi. Contohnya begini, jika dulu minum amoksisilin bisa digunakan untuk mengatasi infeksi saluran pernafasan, jika terjadi resistensi, maka sekarang amoksisilin tidak dapat mengatasi infeksi saluran pernafasan.

Resistensi antibiotik dapat terjadi jika:

  1. Antibiotik yang digunakan tidak tepat dengan indikasi penyakit
  2. Aturan pakai yang tidak tepat, harusnya diminum 3 kali sehari, hanya diminum 1 kali sehari
  3. Antibiotik tidak dihabiskan sesuai anjuran dokter.


Masih banyak pasien yang gengsi untuk menggunakan antibiotik generik karena dikhawatirkan kualitasnya lebih rendah. Untuk menjawab kekhawatiran pasien mengenai obat generik khususnya antibiotik, maka PT Indofarma Tbk, sebagai salah satu produsen utama obat generik di Indonesia, selalu mengawasi ketat setiap kualitas obat generik yang diproduksi. Yakni dengan menggunakan standar bahan baku dan produk jadi berdasarkan farmakope Indonesia ataupun farmakope Amerika (United State of Pharmacopeia) edisi terbaru. Rangkaian produk antibiotik PT Indofarma saat ini mencapai 50 item produk dan terdiri dari beberapa kelompok antibitik yang disebut diatas. Jadi jika ingin sehat tapi hemat gunakan antibiotik generik Indofarma dan pastikan Anda meminum antibiotik sesuai dengan aturan pakai dari dokter.
(Advetorial Indofarma)

Sumber :

http://health.detik.com/read/2009/08/28/090110/1191286/756/jangan-sembarangan-minum-antibiotik

12 September 2009